1.1 Latar
Belakang
Tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang lalu
bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan
memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan perdagangan dalam
bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara di
kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas territorial negaranya dalam satu
pasar bebas yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian di
kawasan Asia setelah China. Dalam hal ini Indonesia sudah mempersiapkan diri
untuk menyambut adanya mea dengan memperbaiki sistem perekonomian negara serta
memaksimalkan sektor-sektor ekonomi yang potensial diantaranya yang menjadi
tumpuan perekonomian Indonesia adalah industri keuangan atau perbankan.
Industri perbankan yang saat ini berkembang dengan mengunakan teknologi yang
maju serta penyediaan informasi yang lengkap membuat perbankan menjadi industri
keuangan yang sangat dibutuhkan masyarakat, masyarakat lebih mempercayai
industri perbankan dari pada yang lain untuk menyimpan maupun meminjam dana
sehingga tidak heran industri perbankan menjadi tulang punggung perekonomian
negara. Pada perkembangannya industri perbankan melakukan beberapa inovasi
dalam sistem pengelolaannya selain mengunakan sistem perbankan konvensional,
industri keuangan juga membuat sistem perbankan syariah dengan perinsip
pengelolaan keuangan dengan mengunakan hukum islam dan melarang adanya sistem
riba dalam praktik transaksi keuangan.
Beberapa riset yang dilakukan para
ahli ekonmi menunjukan bahwa 55% peminat industry perbankan lebih tertarik
untuk meminjam maupun menyimpan dananya dibank syariah tidak heran perbankan
syariah akhir-akhir ini menunjukan tren positif dan itu juga didukung dengan
beberapa inovasi-inovasi yang dilakukan oleh bank syariah dengan menciptakan
produk-produk yang banyak digunakan dalam perbankan konvensional. Kelemahan
perbankan syariah adalah ketidak jelasan payung hukum dari pemerintah membuat
perbankan syariah tidak bisa berinvasi secara bebas dalam mengembangkan
produknya. Model perbankan syariah yang mengalami tren positif membuat
berberapa tokoh ekonomi menjadi yakin jika perbankan syariah dapat membantu
meningkatkan perekonomian Indonesia dalam menghadapi MEA.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa
prinsip dasar dari perbankan syariah?
2. Apa perbedaan
perbankan syariah dengan perbankan konvensional?
3. Apa
tantangan MEA bagi industri perbankan syariah indonesia
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui dasar dari perbankan syariah
2. Untuk
mengetahui perbedaan perbankan syariah dengan perbankan konvensional
3. Untuk
mengetahui tantangan MEA bagi industri perbankan syariah indonesia
1.4 Manfaat
Dalam
makalah ini akan dijabarkan secara jelas tentang prinsip dari perbankan syariah
dan membandingkan keungulan antara perbankan syariah dengan perbankan
konvensional serta mengetahui prospek perbankan syariah dalam mengahadapi MEA
sehingga diharapkan dapat membantu memahami industri perbankan yang menjadi
tulang punggung dari perekonomian suatu negara.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Prinsip Dasar Perbankan Syariah
Prinsip bank syariah secara umum adalah melarang melakukan transaksi yang
mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, dan jual beli barang haram.
Prinsip bank syariah ini diterapkan untuk mencapai tujuan sesuai jalur
syariah.
Mudharabah adalah akad kerja
sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana)
dengan nisab bagi hasil menurut kesepakatan di muka, jika usaha mengalami
kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik usaha, kecuali jika
ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana. Secara umum, mudharabah
dibagi menjadi dua jenis. yaitu:
- Mudharabah Muthlaqah, yaitu bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis
- Mudharabah Muqayyadah, yaitu kebalikan dari mudharabah muthalaqah, yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
Musyarakah adalah akad
kerjasama atau pencampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu
usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan
akan dibagikan sesuai dengan nisab yang disepakati dan resiko akan ditanggung
sesuai dengan porsi kerjasama.
Jenis-jenis musyarakah ada
empat, yaitu:
- Musyarakah Muwafadhah, yaitu kerjasama dua orang atau lebih pada suatu obyek dengan syarat tiap-tiap pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama, sehingga tiap-tiap pihak dapat melakukan perbuatan hukum atas nama orang-orang yang bekerjasama itu.
- Musyarakah Al-Inan, kerjasama dalam modal dalam suatu perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi bersama dengan jumlah modal yang tidak harus sama porsinya.
- Musayarakah Al-Wujuh, yaitu kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai, sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama.
- Musyarakah Al-Abdan, yaitu kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu perkerjaan, seperti pandai besi, servis alat-alat elektronik, laundry, dan tukang jahit. Hasil yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama dengan kesepakatan mereka berdua.
Wadiah adalah titipan murni
dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun hukum yang harus dijaga
dan dikembalikan kepada si penitip kapan saja si penitip menghendaki. Dengan
melihat prinsip dalam syariah Islam, wadiah dapat digolongkan menjadi dua macam
yaitu:
- Amanah, yaitu pihak yang dititipi tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan harta titipan.
- Dhamanah, yaitu pihak yang dititipi bertanggung jawab penuh terhadap keutuhan harta titipan, sehingga pihak yang dititipi boleh memanfaatka harta titipan tersebut.
Murabahah adalah bagian dari
jenis bai', yaitu jual beli ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati
oleh kedua belah pihak, pembeli dan penjual. Pada transaksi murabahah,
penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dapat
dilakukansecara tunai, tangguhan, maupun dicicil.
Salam adalah transaksi jual
beli suatu barang tertentu antara pihak penjual dan pembeli yang harga jualnya
terdiri dari harga pokok barang dan keuntungan yang ditambahkannya yang telah
saling disepakati, dimana waktu penyerahan barangnya dilakukan kemudian hari,
sementara pembayarannya dilakukan dimuka (secara tunai). Dalam praktek perbankan,
ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada
rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara
cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari
nasabah ditambah dengan keuntungan. Dalam hal ini bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan, sedangkan jika bank menjualnya secara
cicilan, maka kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayaran.
Istishna’ adalah transaksi
jual beli seperti prinsip salam, yaitu jual beli dan penyerahannya dilakukan
kemudian, tetapi penyerahan uangnya dapat dilakukan secara cicilan atau
ditangguhkan. Spesifikasi barang pesanan harus jelas jenis, macam ukuran, mutu
dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam kontrak
istishna’ dan tidak boleh berubah selama berlakunya kontrak, jika terjadi
perubahan harga setelah kontrak ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan
tetap ditanggung oleh
nasabah.
Ijarah adalah akad pemindahan
hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang sendiri.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat, jadi pada dasarnya
prinsip ijarah sama dengan prinsip jual-beli. Perbedaannya terletak pada obyek
transaksinya, bila pada jual-beli transaksinya barang maka pada ijarah
transaksinya adalah jasa. Dengan kata lain, ijarah adalah perjanjian
sewamenyewa antara bank dan nasabah. Setelah kontrak berakhir, penyewa
mengembalikan barang tersebut kepada pemilik. Pada akhir masa sewa, bank dapat
menjual barang yang disewakannya kepada nasabah, karena dalam perbankan syariah
dikenal ijarah muntahhiyah bittamllik (sewa yang diikuti dengan perpindahan
kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
Qardh adalah perjanjian
pinjam-meminjam uang atau barang. Qardh dilakukan tanpa ada orientasi
keuntungan, tetapi pihak bank sebagai pemberi pinjaman boleh meminta ganti
biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan kontrak qardh. Aplikasi dalam perbankan
syariah, qardh
dilakukan dalam hal sebagai
berikut:
- Pinjaman talangan haji. Nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
- Pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah. Nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
- Pinjaman kepada pengusaha kecil. Qardh jenis ini dilakukan jika menurut perhitungan bank, pengusaha tersebut akan terasa terlalu berat jika menggunakan skema pembiayaan jual-beli, ijarah atau bagi hasil.
- Pinjaman kepada pengurus bank. Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya. Prinsip bank syariah (Rahn / gadai)
Menahan salah satu harta
pemilik/peminjaman sebagai jaminan (collateral) atas pinjaman yang diterimanya.
Tujuannya untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan.
Barang yang dijadikan jaminan dalam kontrak rahn harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Barang yang dijadikan jaminan dalam kontrak rahn harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Milik nasabah sendiri.
- Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
- Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat
menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan
merusak barang yang dijadikan sebagai jaminan, apabila barang rusak atau cacat,
maka nasabah harus bertanggungjawab. Selain itu, bank dapat melakukan penjualan
barang jaminan tersebut atas keputusan hakim. Nasabah mempunyai hak untuk
menjual barang tersebut dengan seizin bank, apabila hasil penjualan melebihi
kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik nasabah, dan bila hasil
penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka nasabah menutupi
kekurangannya.
Hawalah adalah pengalihan
utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Tujuan hawalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang. Bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang
berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berutang. Hal tersebut dilakukan untuk risiko kerugian yang akan timbul.
10. Prinsip Wakalah
Transaksi wakalah timbul
karena salah satu pihak memberikan suatu obyek perikatan yang berbentuk jasa
atau dapat juga disebut sebagai meminjamkan dirinya untuk melakukan sesuatu
atas nama diri pihak lain. wakalah adalah penyerahan, pendelegasian atau
pemberian mandat. Orang yang diberikan amanat oleh orang lain maka orang yang
diberi amanat akan melakukan apa yang diamanatkan kepada dirinya atas nama
orang yang memberikan amanat (kuasa tersebut). Transaksi wakalah ini dapat
dijumpai pada perbankan, seperti transaksi penagihan, pembayaran, agensi,
transaksi dan lain-lain.
2.2
Perbedaan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional
Perbedaan
yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :
a.
Perbedaan Falsafah
Perbedaan
pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan
falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam
seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah
yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang
dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka
sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan
dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi
perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur
bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound
interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah
satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat
menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi
untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak
lain, atau malah ke dua-duanya.
b.
Konsep
Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam
sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun
investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank
konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana
titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus
dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas
yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi
yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias
cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika
dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha
yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan
dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima
kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik
keuntungan maupun risiko.
Sesuai
dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana
nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan
cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke
dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil
keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai
usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka
semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun
jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan
bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana
nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah
keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional,
tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak,
bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan
demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima
nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar
keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda
dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya.
Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya
dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.
c.
Kewajiban Mengelola Zakat
Bank
syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar
zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini
merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi
dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
d.
Struktur Organisasi
Di dalam
struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah
(DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN
dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat
mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank
Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.
2.3. Tantangan MEA Bagi Industri Perbankan
Syariah Indonesia
Industri perbankan syariah terbesar di
Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga
belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di
dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih
kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum
tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di
Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia
masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang
cukup signifikan.
Halim (2012) dalam sebuah penelitiannya, dengan
menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional
(BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank
syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional (Lihat Tabel 1).
Namun dari sisi Net Operational Margin (NOM), beberapa bank syariah lebih
unggul. Dari sisi profitabilitas, Return On Asset (ROA) bank syariah lebih
kecil dari bank konvensional, namun dari sisi Return On Equity (ROE) lebih
besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih
kecil dibanding bank konvensional.
Tabel 1.
Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia
Kemudian
apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di
Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah
di Indonesia juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat
dari indikator Net Operational Margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang
masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih tinggi dari bank syariah di
Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di Indonesia
lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur
Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE (Lihat Tabel 2). Tak
heran jika banyak investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli
bank syariah di Indonesia. Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan
mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank syariah di Indonesia sehingga
dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.
Tabel 2.
Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara
Tantangan lainnya dalam menghadapi MEA 2015
adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai masih
kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah
di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan
kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga maqasid syariah. Hal ini berbeda
dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang
dan pasar modal) lebih dominan.
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan
syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain. Kekurangan
instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan
likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih
mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan
instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di
instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI
Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk.
Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrument bank
sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan
mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah
(SPNS) dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu
terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan
pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas
menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada
industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu
industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk
perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah
tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan
kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian
serius adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga
kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa
salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for
skilled and talented labours. Keberadaan skilled labours adalah faktor penting
dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan
modal semua dikendalikan oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM)
yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA.
Jika kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours
Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan
bahwa kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara
penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan
yang kita hadapi saat ini. Di mana keberadaan skilled labours yang berbasiskan
syariah alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa besar kontribusinya untuk
perekonomian dan industri perbankan syariah Indonesia saat ini? Para sarjana
ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah
itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia
saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung
liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan
transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu.
Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian
Indonesia masih terbilang belum optimal.
Secara logika, untuk mengurus dan merebut pasar
domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia masih ‘gelabakan’, apalagi
jika harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang mana tambahan target
pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non muslim. Ditambah lagi dengan
kompetitor dari negara lain yang memiliki persiapan, strategi, dan modal yang
lebih mumpuni dibandingkan para paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai
contoh negara Malaysia yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya
terhadap pengembangan perekonomian secara syariah. Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi
Indonesia terutama melalui jalur syariah?Ataukah tunas perkembangan ekonomi
syariah di tanah air akan sirna olehnya? Sekali lagi, inilah tantangan
kontemporer bagi perkembangan industri keuangan dan perbankan syariah.
Di antara langkah yang dapat diambil adalah
pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan
dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap
tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. Ikatan
Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat berperan dalam menyediakan tenaga ahli
untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah
dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan
syariah sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Prinsip
Dasar Perbankan Syariah meliputi beberapa prinsip diantaranya
Prinsip mudhorobah, Prinsip
musyarakah, Prinsip murabahah, Prinsip salam, Prinsip istishna, Prinsip ijarah,
Prinsip qard yang diatur dalam ketentuan agama islam.
2. Perbedaan
antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional meliputi
a.
perbedaan
falsafah.
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan
bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak
melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional
justru kebalikannya
b.
Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk
titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan
deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan
uang
c.
Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat
yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank
syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah) Struktur
Organisasi. Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya
Dewan Pengawas Syariah (DPS).
3. Tantangan MEA Bagi Industri
Perbankan Syariah Indonesia
Industri perbankan syariah terbesar
di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga
belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di
dunia. Hal itu menjadi tantangan bagi Indonesia yang merupakan negara dengan
jumah penduduk muslim terbanyak untuk mengembankan potensi yang dimiliki dalam
industry perbankan syariah.
Tantangan lain dalam menghadapi MEA
2015 adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai
masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan
syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada
pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga maqasid syariah. Hal ini
berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar
uang dan pasar modal) lebih dominan.
Daftar
pustaka:
2.
Baraba ahmad: perinsip
dasar perbankan syariah
3.
Dhani gunawan Suatu
Tinjauan Pengembangan, Pengawasan, dan Prospek PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
MENUJU MILLENIUM BARU
Lucky Club Casino Site 2021 - All You Need to Know
BalasHapusLucky Club Casino site for 2021 ➤ Register an account and claim exclusive luckyclub.live bonuses and offers. Read everything you need to know about 💸 Minimum Deposit: NZ$🎁 Bonus Wager: Up to $20🎁 Bonus Code: None Needed